Edukasi Terkini : Guru Besar UPI: Anggaran Pendidikan untuk Sekolah Kedinasan Salah Sasaran
Guru Besar bidang Pembiayaan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Dr Nanang Fattah menilai, anggaran pendidikan 20 persen dari total APBN yang diperuntukkan kepada sekolah kedinasan di bawah naungan kementerian dan lembaga negara merupakan salah sasaran.
“Kalau mutu pendidikan itu sangat-sangat rendah, wajar, saya dapat pahami, dengan kemampuan daya bayar masyarakat yang rendah dengan subsidi pemerintah yang sangat masih jauh gitu ya. Jadi kalau kita bicara peruntukan dari 20 persen itu dulu idenya awal zaman reformasi itu bukan untuk pendidikan di luar Kemendikbud, tidak itu. Karena sudah dihitung kalau total satu APBN, habis itu untuk peningkatan mutu sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kemendikbud itu, tidak di luar itu,” kata Nanang dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI dengan Pakar Pendidikan, Kamis (20/6/2024), dikutip Minggu (23/6/2024).
“Sekarang salah sasaran ini, salah sasaran. Kementerian, sekolah dinas, ya, bahkan lembaga-lembaga negara, dikasih, disalurkan dari biaya-biaya itu ya. Ini juga terjadi. Jadi ini inkonsistensi kebijakan dari sudut itu,” sambungnya.
Terkait perguruan tinggi di bawah naungan kementerian dan lembaga (PTKL), Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini mengajukan reformulasi kebijakan pendidikan, terutama pendidikan tinggi.
Langkah ini menurutnya penting untuk memastikan penggunaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional meningkatkan kualitas. Di samping itu, ia menegaskan perlu ada relevansi langsung dari penggunaaan dana pendidikan tersebut.
“Kalau ada K/L di luar Kemendikbud menghasilkan doktor sama dengan doktor yang kita hasilkan, bidang diplomasi, bidang ini, dan seterusnya, dana kita hanya Rp 10 juta per mahasiswa, mereka Rp 60 juta per mahasiswa. Harus dipotong. Jangan hanya bicara, pakai konsultan internasional,” ucapnya.
“Diketok, dipanja, dipansus kalau perlu. Bagaimana kalau tidak dilaksanakan? Ya politik anggarannya segala macam dipakai di sini. Jadi saya kira reformulasi itu penting,” ucapnya.
Didik menambahkan, perlu ada evaluasi dampak akses dan mutu pendidikan. Alokasi dana pendidikan yang tidak relevan harus dialokasi.
Contohnya merealokasi anggaran PTKL dan perguruan tinggi non-KL yang sama-sama dapat menghasilkan akuntan dan lulusan bidang kebijakan publik.
“Misalnya Kementerian Keuangan menghasilkan akuntan. Itu ada ratusan universitas, pendidikan tinggi, yang menghasilkan akuntan yang sama. Tidak perlu lagi itu, harus dibubarkan. Ada satu bidang tertentu menghasilkan kebijakan publik, Kementerian Dalam Negeri punya kebijakan publik, sama dengan yang dihasilkan (perguruan tinggi non-KL). Ya sudah, itu ditransformasi saja menjadi universitas biasa,” katanya.
Menurutnya, cara tersebut dapat mengurangi serapan anggaran pendidikan yang tidak lagi relevan. Menguatkan kesimpulan evaluasi ini tersebut, Didik menyarankan keterlibatan konsultan internasional.
“Kementerian lain merebut anggaran, dampaknya apa? Menghasilkan akuntan. Dulu memang itu pendidikannya Kementerian Keuangan untuk akuntan dulu nggak ada, susah,” ucapnya.
“Sekarang sudah banyak. Jadi tidak perlu lagi dia menyerap anggaran banyak yang rasionya Rp 30-40 juta, mengalahkan yang lain, menghasilkan yang sama. Jadi evaluasi dampak. Ini tidak jadi kesimpulan kita saja, tetapi mungkin PricewaterhouseCoopers, atau apa yang internasional, niru Bappenas begitu, pimpinan Komisi X bersama Kementerian Pendidikan untuk bagaimana pendidikan masuk ke dalam politik (anggaran) yang kuat,” sambung Didik.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti mengatakan 20 persen APBN Tahun Aggaran 2024 yakni Rp 665 triliun digunakan untuk anggaran fungsi pendidikan. Di dalamnya, anggaran yang dikelola Kemendikbudristek sebesar Rp 98,987 triliun, Kemenag Rp 62,305 triliun, sementara K/L lainnya Rp 32,859 triliun.
Suharti mengatakan, 22 kementerian dan lembaga mendapat alokasi dari anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 32,859 triliun. Ia mengatakan tidak ada koordinasi terpusat atas anggaran pendidikan pada kementerian/lembaga maupun pengawasan oleh DPR RI.
Suharti menambahkan, pihaknya menginisiasi PP No 57 Tahun 2022 tentang perguruan tinggi kementerian/lembaga (PTKL). Disepakati bahwa PTKL harus teknis, spesifik, dan tidak tumpang tindih dengan prodi di bawah pembinaan Kemendikburistek.
Biaya PTKL juga harus ikut standar biaya Kemendikbudristek. Sementara itu, UU No 20 Tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Sisdiknas yang mengatur anggaran pendidikan tidak boleh dipakai untuk pendidikan kedinasan menurutnya belum ditaati.
“Ini menjadi PR kami untuk memastikan PTLK semua di kementerian/lembaga lain mengacu pada kebijakan yang sama,” ucapnya.
Anggota Komisi X DPR RI Nuroji mengatakan anggaran pendidikan di kementerian/lembaga lain, termasuk yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan, perlu disikapi sehingga penggunaan dana fungsi pendidikan dapat lebih efektif di Kemendikburistek.
“Ini harus diberikan standar, kalau memang tidak bisa ditarik (anggaran) ikatan-ikatan dinas ini (ke Kemendikbudristek). Tentu standar-standar biaya itu harus sama, jadi tidak di sana mewah, di sini malah kekurangan,” ucapnya.
Berikut pos anggaran pendidikan 2024 di kementerian dan lembaga setara Rp 32,859 triliun:
Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!