Edukasi Terkini : Sulit Bayar UKT, Anak Guru Honorer Pilih Nyambi Kerja dan Pernah Tinggal di Masjid


Potret MN Anak Guru Honorer Pilih Nyambi Kerja dan Pernah Tinggal di Masjid
MN, Anak Guru Honorer yang Pilih Nyambi Kerja dan Pernah Tinggal di Masjid. Foto: Nur wasilatus Sholeha/detikedu

Ekonomi menjadi faktor utama seseorang mengurungkan niatnya untuk mengenyam bangku perkuliahan. Namun, bagi MN (22) yang seorang anak guru honorer, dia lebih memilih banting tulang berkuliah sambil kerja hingga mengorbankan waktu bersama teman-temannya.
MN yang kini menjadi mahasiswa semester akhir di salah satu PTN di Yogyakarta mengaku cukup berat membayar UKT karena latar belakang ayahnya yang hanya seorang guru honorer.
“Ayah itu sekarang tinggal guru honorer yang usianya sudah 50-an tahun. Enggak ada pekerjaan lain selain guru honorer dan dia membiayai ada adikku yang masih SMA. Ada nenekku ya, sama sekaligus ibu cuma sebagai ibu rumah tangga doang jadi untuk bantu-bantu itu hanya dari ayah saja,” terangnya (12/6/2024).
Semula UKT yang MN dapatkan Rp 2,7 juta. Sekarang di semester akhir ia mendapatkan Rp 2,3 juta.
Sehingga ia memilih untuk menjadi mahasiswa kuliah sambil kerja semenjak datang ke Jogja.
“Ya saya butuh uang buat menghidupi kehidupan saya, buat tambah-tambahan bayar uang kuliah ya buat kehidupan saya di Jogja,” ungkapnya.
MN berasal dari Medan. Ketika pertama kali ke Jogja, kampusnya sudah menetapkan pembelajaran tatap muka sehabis pandemi COVID-19.
Kala itu ia menempuh studi di semester 3. MN mengaku tinggal di masjid dan menjadi marbot.
“Karena emang udah dari sananya aku mikir kalau ngekos gak bakal bisa ketutup biaya hidupku.”
Masjid yang ia tempati berada di sekitar daerah Tugu Yogyakarta. MN melihat ada peluang yang bisa ia hasilkan, pasalnya daerah tersebut banyak didatangi wisatawan dari seluruh Indonesia.
“Saya jadi tour guide hotel. Jadi, saya mencari-carikan hotel buat beberapa orang,” ujarnya.
Untuk mendukung pekerjaannya tersebut, ia meminjam motor teman-temannya.
MN pun menjajal pekerjaan lainnya. Pada pekerjaan kedua, ia menjadi admin di suatu lembaga di daerah Gunung kidul semenjak semester 4 hingga sekarang.
MN sekali lagi tidak memilih kost sebagai tempat tinggalnya. Ia memilih tinggal di lembaga tersebut hingga sampai di semester 6.
“Dari bosnya dia ngasih tawaran, enggak apa-apa aku tinggal di sini. Dia bilang kalau mau kuliah ini ada inventaris dipakai, tapi ya bantu-bantu buat di lembaganya,” kata MN.
Kemudian di semester akhir ini, dia memilih untuk indekos di Jogja sekaligus WFH akibat tuntutan tugas akhir yang mengharuskan ia harus lebih dekat dari kampus, dibandingkan tinggal di lembaga dimana jauh dari kampusnya.
Tidak memilih untuk bersantai-santai ketika libur panjang dan bersamaan dengan WFH sebagai admin, MN juga mengambil pekerjaan di Bogor, tepatnya di toko retail frozen food, tetapi hanya dikala libur semester saja.
Dari pekerjaan-pekerjaan yang ia jalani, UKT yang dirasa berat tersebut dapat ditutupi dengan gaji yang ia dapatkan.
“Saya sudah menganggap enggak terlalu berat tapi saya beratnya di biaya hidup,” ucapnya.
Ia mengaku gaji yang ia dapatkan hanya mampu memenuhi UKT-nya saja, sedangkan untuk biaya hidupnya masih cukup sulit.
Sadar akan ketidakmampuannya dalam membayar UKT, MN pernah mengusulkan KIP-K ketika masih menjadi mahasiswa baru, tetapi tertahan akibat dari NIK-nya. Tak putus asa, ia mengusahakan ke dinas pendidikan dan lainnya. Sayang, sistem dari KIP-K sendiri menolak MN.
Selain itu, ia juga pernah banding keringanan UKT ketika masih masa COVID-19. Ia mendapatkan keringanan, tetapi hanya di semester itu saja. UKT-nya kembali ke semula saat semester berganti.
Ketika awal kerja pun juga, MN pernah memberitahu dosennya terhadap kendala biaya yang ia alami.

“Awal banget itu sebelum saya kerja saya ngeluh kan, saya pengen minta jalur orang dalam lah penginnya kan, ‘Bu saya bisa gak Bu dicarikan UKT’,” kenangnya.
Alih-alih mendapatkan solusi UKT-nya, ia mendapatkan jawaban yang tidak membantu atas masalah yang ia alami.
“Mas sampean kalau mau beasiswa itu susah, bagusnya sampean cari-cari sendiri aja, kalau saran dari kami ikuti ini apa lomba-lomba,” ucap MN mengulang kata-kata dosennya itu.
Jawaban dari dosen atas penurunan UKT-nya membuat ia enggan kembali berharap.
Kuliah sambil kerja tentu menyebabkan adanya hal yang harus dikorbankan. MN sendiri mengaku beberapa pekerjaan yang ia pernah lakukan berdampak pada nilainya yang turun.
Meskipun begitu, ia tidak berekspektasi terhadap nilai yang tinggi.
“Prinsipku ya udah aku ngerjain semua tugas, aku kumpulin udah,” ujarnya.
Kuliah sambil kerja juga membuat dirinya kurang bergaul dengan teman-temannya karena sulitnya mengatur waktu.
“Ngerasa kayak enggak enak udah sering diajak, sering juga nolak,” kata MN.
Selain itu, ia kerap kali merasa untuk mengundurkan diri dari kampusnya.
“Wah, ini duitku banyak nih. Kalau aku nanti kerja sambil nabung kan bisa buka usaha. Ah ngapain aku kuliah, aku bayar gini bla bla bla,” ungkapnya.
Namun, hal itu tidak dilakukannya karena ada dukungan orang tua untuk tetap melanjutkan studi serta didasari realita yang ia lihat. Di tengah semua itu, MN pernah mengikuti lomba karya tulis ilmiah bersama teman-temannya dan mendapatkan intensif pendidikan yang dirasa dapat sedikit membantu hidupnya.

Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!