Edukasi Terkini : Didik Rachbini Soroti Biang Kerok UKT Mahal: Anggaran PTKL Anomali dan Menyimpang


Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini (tangkapan layar).
Foto: Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini (tangkapan layar).

Tingginya uang kuliah tunggal (UKT) di kampus milik pemerintah menyita perhatian berbagai pihak. Penyebabnya ditengarai alokasi anggaran pendidikan tinggi di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang terbatas.
Pakar pendidikan yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini, MSc, PhD mengungkapkan hanya Rp 7 triliun atau 1,1 % dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 665 triliun yang dialokasikan untuk pendidikan tinggi di Kemendikbudristek.
Akhirnya kampus-kampus negeri dipaksa untuk mencari anggaran sendiri dengan cara mengeruk uang dari mahasiswa. “Sehingga pendidikan tinggi tidak lebih dari pasar, ‘ada uang ada barang’,” ujar Didik dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Minggu (23/6/2024).

Didik pun menyoroti kementerian atau lembaga lain di luar Kemendikbudristek yang “memakan” anggaran pendidikan sangat besar. Nilainya bahkan 4 kali atau 400 persen lebih banyak dari perguruan tinggi negeri (PTN) di bawah Kemendikbud.
“Jumlahnya sangat besar yakni Rp 32 triliun. Ini merupakan bentuk politik pendidikan tinggi yang anomali dan menyimpang,” ujar Didik.
Ia pun menengarai setiap mahasiswa yang berada di perguruan tinggi kementerian/lembaga lain (PTKL) terjadi praktik mark up gila-gilaan. Rasio biaya APBN per mahasiswa diperkirakan dan ada indikasi mencapai Rp 60 juta per mahasiswa.
“Ini jauh lebih tinggi daripada PTN di bawah Kemendikbud yang hanya Rp 10 juta atau Rp 15 juta per mahasiswa. Ini jelas merupakan praktik mark up anggaran yang tidak wajar,” kata Didik.
Ia melanjutkan,”PTN di bawah Kemendikbud mengerahkan tenaga mencari uang dari mahasiswa sehingga uang kuliah mahal. Sementara, kampus di bawah kementerian lain tinggal terima dana APBN dan foya-foya dengan mark up dari dana APBN tersebut.”
Didik pun mengusulkan PTKL yang menyediakan jurusan umum lebih baik dibubarkan atau bergabung dengan Kemendikbudristek.
“Keahlian seperti akuntansi, ilmu politik pemerintahan, ilmu sosial, kebijakan publik, dan sejenisnya sudah tidak langka lagi dan bisa dihasilkan oleh perguruan tinggi pada umumnya,” ujarnya.
“Ini dilakukan agar tidak ada lagi keistimewaan anggaran yang berlebihan. Kementerian tersebut fokus pada tugas pokoknya, yang kebanyakan juga bermasalah,” sambungnya.

Didik juga menyampaikan alokasi anggaran fungsi pendidikan sebesar 20 persen dari APBN atau Rp 665 triliun yang tak tepat sasaran.
Menurutnya, lebih dari separuh anggaran tersebar ke daerah dan desa dengan alokasi untuk pendidikan dan pengeluaran yang tidak jelas dan tidak terkait dengan pendidikan.
“Bahkan selain dana pendidikan tersebut tersebar acak tidak jelas dan banyak penggunaannya untuk bukan tujuan pendidikan, ada dana yang tidak digunakan dan disimpan, yakni sebesar Rp 47,3 triliun. Kalau tidak digunakan berarti tidak ada manfaat sama sekali atau manfaat nol untuk pendidikan,” katanya.
Didik pun menegaskan sebaiknya pemerintah baru memikirkan carut marut politik pendidikan seperti sekarang ini, khususnya politik pendidikan tinggi sehingga perguruan tinggi negeri.
“Arah alokasi dana yang menyimpang mesti diperbaiki,”katanya.

Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!