Edukasi Terkini : Beda Pungli di PPDB dengan Pungutan Sah, Begini Kata Ombudsman
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Baton, mengatakan masih muncul keluhan soal pungutan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di wilayahnya. Ini terkait dengan pungutan sah dan tidak sah. Apa bedanya?
Dengan nama sumbangan hingga hingga uang komite sekolah, ia menjelaskan ada perbedaan antara pungutan sah dan yang tidak sah atau pungutan liar (pungli).
Darius menjelaskan, suatu pungutan disebut pungutan sah saat memiliki dasar hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dipungut oleh orang atau petugas yang berwenang untuk memungut.
Sementara pungutan tidak sah adalah pungutan yang tidak punya dasar hukum sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan atau dipungut oleh orang atau petugas yang tidak berwenang memungut.
“Hemat saya, jika sekolah adalah lembaga publik yang tunduk pada hukum administrasi publik, maka dua unsur pungutan tersebut haruslah dipenuhi agar tidak disebut melakukan pungutan tidak sah,” jelasnya dalam laman Ombudsman RI, dikutip Senin (24/6/2024).
Rupa-rupa pungutan pada PPDB antara lain muncul dalam nama uang pembelian map dan formulir pendaftaran, uang pendaftaran masuk, uang test kemampuan, uang psikotes, uang kesehatan, serta uang tes lainnya. Ada juga istilah uang bangku atau kursi bagi calon siswa cadangan (waiting list).
Lebih lanjut, pungutan juga muncul dalam nama uang pembangunan, sumbangan pengembangan institusi, uang infak untuk pengembangan institusi. Soal buku dan pakaian, ada istilah uang seragam, uang baju batik, baju olahraga, uang pembelian buku, uang LKS, uang SPP, uang ekstrakurikuler, les, praktikum, dan uang makan-minum.
Ada pula uang komite sekolah, uang study tour, uang kebersihan dan keamanan, uang ujian, uang pendaftaran ulang pada saat kenaikan kelas dan uang wisuda saat kelulusan.
Darius mengingatkan, ada syarat yang wajib dipenuhi agar sebuah pungutan sekolah dapat dinyatakan sebagai pungutan yang sah.
Berikut syaratnya seperti diatur Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan:
Ia mengatakan kepala sekolah juga harus punya payung hukum yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan pungutan. Sekolah seharusnya tidak melakukan pungutan hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan bersama orang tua melalui komite, kecuali jika sekolah bukan lembaga publik dan tunduk pada hukum privat.
Ia mencontohkan pada SMA dan SMK di NTT, pungutan iuran komite berkisar Rp 50.000-Rp 200.000 per siswa per bulan. Jika sekolah memungut uang sebesar Rp 150.000 per siswa per bulan kepada 1.000 siswa, maka dapat terkumpul uang pungutan sebanyak Rp 150 juta atau Rp 1,8 miliar per tahun.
“Dari jumlah ini dapat dihitung berapa kebutuhan untuk pembiayaan petugas kebersihan, satuan pengamanan, guru komite dan kebutuhan lainnya. Semestinya orang tua tidak diminta untuk membangun gedung sekolah, pagar, toilet, membeli komputer dan lain-lain, yang harusnya menjadi kewajiban pemerintah,” ungkapnya.
“Sisa dana selebihnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan sekolah sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan,” sambung Darius.
Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!