Berita Terkini : Eks Kepala BPJT: Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disetujui Menteri PUPR
Mantan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II atau Tol Layang Mohamed bin Zayed (MBZ) tahun 2016-2017. Herry mengatakan perubahan basic design konstruksi Tol MBZ dari beton ke baja telah melalui disposisi Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono.
Mulanya, Herry mengatakan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono telah menyetujui usulan basic design konstruksi Tol MBZ menggunakan beton. Dia mengatakan usulan itu disetujui di tahun 2016.
“Apa awalnya Pak? Konstruksinya beton kah apa baja?” tanya ketua majelis hakim Fahzal Hendri dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Selasa (25/602024).
“Di awal usulannya adalah beton,” jawab Herry.
“Beton di awalnya?” tanya hakim.
“Iya, betul,” jawab Herry.
“Beton kemudian setelah itu ada ndak, udah disahkan ndak beton itu, Pak?” tanya hakim.
“Persetujuan perkasa itu adalah menyetujui si konsoraium tadi sebagai pemrakarsa dengan dokumen pendukung yang beton,” jawab Herry.
“Sudah?” timpal hakim.
“Sudah disetujui sebagai pemrakarsa,” jawab Herry.
“Siapa yang menyetujui?” tanya hakim.
“Menteri PUPR,” jawab Herry.
Herry mengatakan anggaran pembangunan proyek Tol MBZ dengan konstruksi beton juga telah disetujui oleh Basuki. Dia mengatakan total biaya konstruksinya mencapai Rp 9,3 triliun.
“Berapa anggaran biayanya? usulan awalnya berapa anunya yang disetujui oleh PUPR? Menteri PUPR?” tanya hakim.
“Biaya konstruksinya itu Rp 9.349 triliun,” jawab Herry.
“Udah disetujui oleh menteri PUPR?” tanya hakim.
“Oleh Menteri PUPR dengan catatan di butir dua itu harus dilengkapi,” jawab Herry.
Dia mengatakan ada catatan dalam dokumen persetujuan tersebut. Dia menuturkan catatan itu adalah untuk berkoordinasi dengan instansi terkait yang melakukan pembangunan di lokasi proyek Tol MBZ tersebut.
“Bapak masih ingat nggak catatan itu apa intinya?” tanya hakim.
Hakim kemudian mendalami terkait persetujuan dalam perubahan konstruksi dari beton menjadi baja pada proyek Tol MBZ. Dia mengatakan perubahan basic design konstruksi dari beton menjadi baja itu telah mendapatkan disposisi dari Basuki selaku Menteri PUPR.
“Siapa yang menyetujui itu Pak? apakah Kepala BPJT saudara ikut menyetujui perubahan itu?” tanya hakim.
“Waktu itu suratnya kan semua komunikasi, surat kan disampaikan ke Menteri lalu disposisi ke kami, lalu dituangkan lah di dalam dokumen lelang sebagai dasar untuk pelelangan,” jawab Herry.
Hakim mencecar Herry terkait disposisi perubahan konstruksi Tol MBZ tersebut. Herry mengatakan disposisi itu dikeluarkan dari Menteri PUPR lalu ke Kepala BPJT kemudian ke sekretariat BPJT hingga panitia lelang investasi sebagai dasar dokumen lelang.
“Iya, untuk perubahan itu, yang saya tanya Pak, siapa saja yang tanda tangan di situ? Apakah termasuk juga Menteri PUPR menyetujui perubahan konstruksi itu dari beton menjadi baja? atau cukup diubah-ubah begitu saja oleh panitia lelang atau bagaimana Pak?” tanya hakim.
“Kalau pada saat kejadian Yang Mulia, jadi disposisi dari, surat diterima Pak Menteri, disposisi ke kami terus kami disposisi kembali ke sekretariat dan panitia untuk ditindaklanjuti sebagai dasar dokumen,” jawab Herry.
Dalam kasus ini, mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalan layang Cikampek (JJC) periode 2016-2020 Djoko Dwijono didakwa merugikan keuangan negara senilai Rp 510 miliar dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Tol Jakarta-Cikampek (Japek) II alias Tol layang MBZ tahun 2016-2017. Jaksa mengatakan kasus korupsi itu dilakukan secara bersama-sama.
Jaksa mengatakan kasus korupsi tersebut dilakukan Djoko bersama-sama dengan Ketua Panitia Lelang di JJC Yudhi Mahyudin, Direktur Operasional II PT. Bukaka Teknik Utama sejak tahun 2008 dan Kuasa KSO Bukaka PT KS Sofiah Balfas serta Tony Budianto Sihite selaku Team Leader Konsultan perencana PT LAPI Ganesatama Consulting dan pemilik PT Delta Global Struktur. Masing-masing dilakukan penuntutan di berkas terpisah.
“Telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 510.085.261.485,41 (Rp 510 miliar),” ujar jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, 14 Maret lalu.
Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!