Berita Terkini : Bawaslu Soroti UU Pemilu Banyak Kekurangan, Singgung Kasus OSO-Putusan MA
Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Rahmat Bagja, menilai Undang-Undang Pemilu di Indonesia banyak kekurangan. Rahmat juga menyinggung kasus Oesman Sapta Odang (OSO) pada tahun 2019 hingga putusan Mahkamah Agung terkait batas usia kepala daerah di Pilkada 2024.
Hal tersebut disampaikan Bagja dalam diskusi di Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan, Selasa (25/6/2024). Bagja mulanya mengatakan harus ada aturan dari Pemilu sebelumnya ke Pemilu selanjutnya alih-alih merubah aturan yang sudah ada saat proses sudah berjalan.
Bagja lantas menyinggung kasus perubahan batas usia Capres-Cawapres dalam Pemilu 2024 oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Bagja juga menyinggung soal polemik pencalonan Oesman Sapta Odang (OSO) menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pilkada 2019 yang lalu.
“Masih ingat kasusnya Pak Oesman Sapta? Pak Osman Sapta itu sudah daftar jadi DCS (Daftar Calon Sementara). In the middle menuju DCT tiba-tiba ada putusan MK, yang membatasi bahwa anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus partai, calon anggota DPD,” kata Bagja di lokasi, Selasa (25/6).
Bagja mengatakan, perubahan dalam proses Pemilu dan Pilkada menjadi hal biasa. Namun demikian, lanjut dia, perubahan tersebut seharusnya diterapkan pada periode selanjutnya, jika prosesnya sudah kadung berlangsung.
“Apakah fair? kan kembali kepada kepastian hukum dan fair competition dalam Pemilu. Orang yang sudah mendaftar tiba-tiba ada syarat yang datang belakangan, dalam hukum dalam kaidah hukum apapun juga, terutama hukum publik, bahwa jika seperti itu, maka putusan seperti itu berlaku nanti. Bukan pada saat itu, nanti Pemilu selanjutnya seharusnya,” ujarnya.
Bagja juga menyinggung keputusan Mahkamah Agung terkait perubahan syarat minimal usia calon gubernur (cagub) di Pilkada. Dalam aturan tersebut MA mengubah ketentuan syarat minimal usia calon gubernur (cagub) di pilkada yang semula berusia paling rendah 30 tahun yang terhitung sejak penetapan pasangan calon (paslon), menjadi terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
“Sekarang kejadian lagi, tapi bukan oleh MK, tapi oleh MA, tambah pusing lagi kita. Yang menarik putusan ini, itu dibatasinya di pelantikan. Kalau pelantikannya serentak iya, nggak ada masalah. Masalahnya yang serentak dalam Pilkada itu adalah pemungutan suaranya,” imbuhnya.
Bagja mengatakan dengan beberapa permasalahan yang ada, membuktikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih banyak kekurangan. Hal tersebut, lanjut dia, berimbas pada KPU dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara Pemilu.
“Dengan permasalahan itu, ini lah permasalahan penting di tengah Undang-undang Nomor 7 yang masih banyak kekurangan, kemudian muncul putusan-putusan pengadilan yabg membuat ketidakpastian. Akhirnya siapa yang jadi korban? Penyelenggara Pemilu yang jadi korban, entah KPU ataupun Bawaslu kami dituduh kemudian tidak A tidak B tidak C, padahal putusan ini mengakibatkan banyak hal,” jelasnya.
“Nggak mungkin diabaikan, karena putusan pengadilan harus dilaksanakan, itu masalah besar. Oleh sebab itu maka harus dicari ya formulanya oleh teman-teman KPU supaya tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Kalau misalnya ini dibiarkan akan jadi masalah,” kata dia.
“Jadi teman-teman KPU sekarang misalnya memastikan jadwal pelantikan, oke misalnya kemarin di Kemendagri mengatakan jadwal pelantikan tidak usah berbarengan. Iya, tapi syarat usia pada saat pelantikan kan harus diatur,” pungkasnya.
Untuk lebih lengkapnya Klik Disini!!